Malam ini hujan deras, petir terdengar bersahut-sahutan di luar sana. Aku masih duduk manis berkutat dengan laptop kesayanganku dan secangkir coklat hangat, buatan bunda tentunya. Tugas proposal penelitian yang diberikan Bu Dian tinggal sedikit lagi kuselesaikan sebab besok sudah harus dikumpulkan.
Malamku hanya biasa saja, mengerjakan tugas, baca buku, atau yang paling spesial mungkin nonton film sambil makan cemilan. Mungkin malam ini harusnya aku bersyukur bisa duduk dengan tenang tanpa cemas, mengapa demikian? Aku adalah seorang pengidap bipolar yang kapan saja bisa melewati fase manik dan depresi. Sangat sulit jika sudah berada di kedua masa tersebut. Jika aku sedang masa manik, aku pasti sangat gembira, jam tidurku berkurang, banyak bicara dengan orang lain. Namun jika sudah berada difase depresi aku akan sedih berkepanjangan, menangis tanpa alasan yang jelas, kehilangan nafsu makan, dan parahnya mungkin ingin bunuh diri. Selfharm itu seperti rokok, menyakitkan namun candu. Sekarang aku mencoba untuk mengontrol diri sendiri, karna melakukan hal seperti itu bukanlah solusi yang tepat.
Sudah tiga jam aku mengerjakan proposal, lelah juga punggungku. Saat sedang peregangan untuk merilekskan otot tiba-tiba pintu kamarku diketuk.
“Jingga, kamu belum tidur ya?” tanya bunda sambil melangkah masuk ke kamarku. Ah ternyata bunda, ku kira siapa, batinku.
“Belum bunda, ini tadi habis ngerjain proposal buat besok. Habis ini juga tidur kok.”
“Ya sudah kalau begitu, jangan tidur terlalu larut, nanti kamu kecapekan.” Ujar bunda mengingatkanku. Bunda mengelus rambutku lalu mencium keningku. Lalu keluar kamar sambil tersenyum
“Iya bunda, pasti.”
Bunda memang orang yang sangat perhatian denganku. Aku gak tau gimana hidupku kalau bunda gak ada. Ayah juga baik namun ia bekerja di luar kota, jadi aku tidak terlalu dekat dengannya.
***
Mendung masih menyelimuti pagi ini, hawa dingin membuatku betah berlama-lama di tempat tidur. Ku lihat jam dinding yang terletak di atas pintu kamar, ternyata sudah menunjukkan pukul enam. Aku segera bergegas untuk bersiap. Tidak butuh waktu lama, tiga puluh menit aku sudah siap berangkat.
Bunyi klakson motor di depan rumah mengagetkanku yang sedang menggunakan sepatu. Fajar seperti biasa datang menjemputku. Dia adalah sahabat baikku sejak SMP. Salah satu orang yang selalu menemani dan menenangkanku saat aku tidak bisa mengontrol diri.
Fajar bukan tipe anak famous di sekolah. Dia hanya murid biasa yang sekelas denganku. Walau terkadang ada yang curi pandang padanya, karna aku akui ia lumayan tampan. Dia memiliki postur tubuh yang tinggi, rambut lurus rapi dibelah ke kiri, matanya belo dengan alis tebal, kulitnya sawo matang.
“Jingga! Ayo berangkat malah berdiri disitu liatin aku, kenapa? Aku ganteng kan.” Celetuknya dengan penuh percaya diri.
“Idih enggak ya, udah ah ayo berangkat.” Sahutku cepat.
Aku segera memakai helm dan naik ke jok belakang Fajar. Dalam perjalanan kami sama-sama diam. Aku menikmati udara pagi ini yang menyejukkan dengan semilir angin yang menerpa wajah.
***
Hari ini pelajaran olahraga, materinya adalah bola basket. Tetapi karena ada rapat dinas, membuat Pak Joko, guru olahragaku tidak bisa mengajar. Zidan sang ketua kelas diberi amanah untuk memimpin teman-teman. Mulai dari pemanasan sampai pertandingan basket antar kelompok yang sudah dibentuk. Awalnya banyak protes dari para siswi namun karena ini amanah dari Pak Joko, mau gak mau mereka juga tetap ikut main.
Setelah kelompokku selesai tanding aku memilih duduk di bawah pohon sambil menunggu jam istirahat tiba. Fajar menghampiriku sambil membawa botol minum.
“Nih minum ini aja.” Katanya sambil menyodorkan botol yang dipegangnya.
“Gak usah, ini aku udah ada.” Tolakku sambil menunjukkan botol yang kupegang.
“Habis olahraga gak boleh minum air dingin Jingga, gak usah ngeyel deh. Minum ini aja.” Ia lalu duduk di sampingku dan meneguk botol yang dibawanya.
“Capek?” tanyanya dengan mata yang masih menatap lurus ke depan.
“Lumayan, kamu?” tanyaku balik dan melihat ke arahnya. “Astaga Fajar! Kamu mimisan.” Aku panik saat melihat darah keluar dari hidungnya. Langsung aku mengambil tisu yang dan mengelap darah yang semakin banyak.
“Hah mimisan? Masa iya?” tanyanya tidak percaya dan mengambil tisu yang kugunakan untuk mengelap darahnya.
“Iya ya ampun ini banyak jar, kita ke UKS aja ya.” Aku sudah panik sendiri sedangkan Fajar masih santai dan berjalan ke UKS layaknya tidak terjadi apa-apa. Sesampainya di UKS aku langsung menyuruh dia untuk istirahat. Dan membelikan teh hangat.
“Jingga, kamu ini berlebihan aku gak kenapa-kenapa cuman mimisan. Mungkin karna tadi gak sarapan terus kecapekan.” Ujarnya lembut, ia tahu jika aku sudah sangat panik.
“Kenapa tadi gak sarapan aja dulu sih, di kantin kan juga banyak makanan, biasanya juga gitu kan.”
“Males aja sih tadi.” Jawabnya dengan enteng.
“Ya udah deh terserah, tapi habis ini kamu makan ya. Gak usah ikut pelajaran dulu, muka kamu juga pucet gitu. Nanti aku izinin ke Bu Ratih.” Ucapku memutuskan, lagi pula setelah ini pelajarannya Bu Ratih, guru itu sangat baik, jadi aku tidak perlu ragu untuk minta izin tentang Fajar.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku segera mengemasi barang dan bergegas menuju UKS untuk menghampiri Fajar.
“Gimana, udah enakan?” tanyaku padanya.
“Udah kok tenang aja. Oh iya Jingga, nanti mampir dulu ya aku mau beli bibit bunga matahari.”
“Harus sekarang banget ya, kamu kan baru sakit, besok aja gimana?” bujukku agar dia mau segera pulang.
“Sekarang aja yaa, nanti kamu temenin aku nanem juga di rumah.”
“Ya udah deh iya.” Jawabku pasrah.
Menyanggah omongan Fajar si kepala batu juga gak ada gunanya. Jadilah aku yang sekarang duduk di taman belakang rumahnya. Dia suka sekali bunga matahari membuatku juga turut menyukai bunga itu. Katanya bunga matahari itu punya arti ceria, gembira, semangat, dan optimis. Jadi kalau kita menanam bunga itu kita juga bisa ketularan semangat. Katanya menjelaskan dengan senyuman yang hangat waktu kutanya saat itu. Fajar memang memiliki kepribadian yang selalu ceria dan semangat, maka setiap aku ada disekitarnya selalu dapet energi positif.
***
Hari ini pengumuman kelulusan, setelah melewati waktu yang sangat panjang, banyak membaca buku, latihan soal, itu semua tidak mudah apalagi semester terakhir ini aku mengalami fase depresi. Buku-buku udah gak karuan berantakan, tisu berceceran, kaca kecil di meja belajarku juga pecah karna kubanting. Untungnya bunda dan Fajar selalu ada untuk nemenin dan nenangin aku.
Cuaca hari ini cerah, matahari bersinar terang menyambut kegembiraan para siswa. Aku berlari kecil di koridor menghampiri Fajar yang sedang mengobrol dengan temannya.
“Fajar!” panggilku, dia langsung menoleh dan menghampiriku
“Jingga, hai! Gimana, kamu jadinya mau lanjut kemana?” tanyanya sambil jalan lalu duduk di bangku koridor.
“Aku jadinya ke Universitas Padjadjaran, ambil jurusan psikologi. Kamu?” Kulihat sorot matanya meredup, ia menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
“Aku gak tau ini kabar baik atau buruk buat kamu. Aku keterima di University of Heidelberg di Jerman jurusan manajemen.” Jawabnya dengan lirih.
Deg
“K-kamu bercanda kan?” ucapku lirih dan terbata-bata.
“Enggak Jingga, aku dapet beasiswa di sana. Sebenarnya emang berat, tapi aku gak bisa sia-siain kesempatan ini.”
“Ya udah gak apa-apa, ini kan juga impian kamu dari dulu, aku cuman bisa dukung kamu.” Aku menatapnya sambil tersenyum simpul, padahal rasanya ingin menangis saat itu juga.
“Tenang aja kok, nanti setiap liburan semester aku pulang, nanti kita main bareng. Kita kan juga masih bisa telepon, vidio call.” Ujarnya sambil terkekeh ringan.
“Habis ini beli buket bunga matahari deh, biar kamu gak sedih.” Lanjutnya membujukku.
“Oke deh siap!” jawabku menyetujuinya walau dada ini terasa sesak.
***
6 tahun kemudian
Aku tidak habis pikir dengan Fajar, ternyata dia pembohong. Mana janjinya yang akan pulang setiap liburan akhir semester, mana katanya yang akan telpon memberi kabar, semuanya cuman omong kosong. Hingga S2 ku selesai tak pernah sedikitpun aku mendengar kabarnya. Fajar bagai hilang ditelan bumi. Wisuda ku hari ini hanya ditemani ayah dan bunda, padahal kita dulu janji bahwa akan merayakan wisuda bersama, tapi ternyata itu hanyalah mimpi yang tak bisa diwujudkan.
“Selamat ya anak ayah yang paling cantik, akhirnya kamu bisa mencapai cita-cita. Jangan pernah sedih lagi ya.” Ucap ayah memberikan selamat, dia memeluk lalu mencium keningku.
“Wih keren anak bunda sekarang udah jadi psikolog, selamat ya nak.” Bunda memelukku dengan penuh sayang.
“Makasih ya ayah, bunda.” Jawabku tulus dengan senyuman lalu memeluk mereka.
Hari yang aku nantikan sekarang datang, tapi kenapa rasanya ada yang kurang. Dia orang yang nantikan datang nyatanya juga tidak akan pernah kembali. Sebenarnya kamu kemana Fajar, aku rindu.
***
Kini aku duduk di tepi ranjang, memandangi langit luar yang tampak mendung. Sepertinya alam semesta sedang setuju denganku. Pintu kamarku diketuk, menampilkan sosok bunda yang sangat kusayangi.
“Ada apa Bunda?”
“Di luar ada Tante Rani nak, katanya ia ingin ketemu sama kamu.” Ujar bunda yang jelas mengagetkanku. Tante Rani adalah mama Fajar, lalu untuk apa beliau kesini? Apa dia datang bersama Fajar?
“Iya bunda, Jingga kesana.” Kaki ku melangkah tak pasti, antara ingin dan enggan. Aku tidak tau sebenarnya ada apa, jadi aku harus mendapatkan penjelasan.
Di ruang tamu Tante Rani sudah menungguku, ku lihat di atas meja ada sebuah buket bunga matahari dan kotak dengan pita berwarna merah.
“Selamat siang Tante.” Sapa ku lalu menyalami dan memeluknya.
“Siang Jingga, selamat ya atas wisudamu, dan maaf karena Tante baru bisa datang sekarang.” Jawabnya sambil membalas pelukanku.
“Oh iya ini bunga matahari kesukaan kamu.” Sambungnya sambil memberikan buket itu padaku.
“Gak apa-apa Tante, terimakasih ya Tan.” Jawabku tersenyum hangat.
“Iya sama-sama, ini titipan dari Fajar, Tante gak sengaja temukan ini di laci kamarnya” Katanya lirih dan memberikan kotak itu padaku. Rasanya sesak sekali mendengar nama itu, nama yang selalu kurindukan namun tak pernah ku tau keadaannya.
“Fajar mana Tante, belum pulang dari Jerman ya?” tanyaku mencoba mencari sebuah jawaban.
“Tante minta maaf Jingga, sungguh minta maaf, harusnya Tante cerita sama kamu tentang Fajar selama ini. Tapi Fajar gak pernah ngizinin Tante buat bilang sama kamu.” Jawabnya pelan dengan air mata yang sudah mengalir deras.
“Emangnya ada apa sama Fajar Tan?” Aku masih bingung, sebenarnya apa yang terjadi selama 6 tahun ini.
“Dia meninggal tahun lalu Jingga. Sebenarnya Jerman bukanlah tempat untuk melanjutkan studinya. Tapi dia berangkat untuk pengobatan leukimianya.” Jelas Tante Rani secara singkat namun berhasil untuk menusuk relung hatiku.
Sungguh diriku bagai tersambar petir mengetahui fakta tersebut. Meninggal? Jika ini mimpi rasanya aku ingin bangun sekarang, tapi ini bukan mimpi. Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk dilewati tanpa seorang Fajar. Seseorang yang sangat berarti dihidupku setelah Ayah dan Bunda. Jadi selama ini dia menyembunyikan penyakitnya dariku, kenapa jar kenapa?
Aku yang sudah menangis tersedu-sedu berlari ke kamar sambil membawa buket dan kotak yang dibawa Tante Rani. Pintu kamar kuhempaskan dengan keras dan langsung menguncinya. Aku terduduk di lantai kamar dengan keadaan yang sudah sangat kacau. Menangis dan berteriak layaknya orang gila, seprai, bantal guling semuanya aku lempar tak tau arah. Barang-barang dan buku di atas meja belajar juga sudah tidak lagi ditempatnya, aku benar-benar gila sekarang.
Tidak peduli dengan teriakan Ayah, Bunda, dan Tante Rani yang sedang menggedor pintu kamarku. Aku tersenyum miring melihat cutter yang ada di sampingku. Perlahan tanganku mengambilnya dan menggoreskan secara pasti di atas lenganku, menciptakan guratan yang selama ini sudah tak pernah kulakukan. Darah menetes mengotori lantai kamar. Melihat darah itu aku mengingat kotak merah yang katanya dari Fajar. Aku berdiri dan menghampiri kotak itu lalu membukanya. Ternyata kotak itu berisi kalung dengan liontin bunga matahari dan sebuah surat. Berlahan ku buka surat itu.
Hai Jingga, apa kabar? Selamat ya atas wisudanya. Maaf aku gak bisa dateng, tapi aku udah titip ini ke mama, karna kalau aku ada kamu gak bakal baca surat ini.
Maaf ya selama ini aku ga jujur tentang penyakit aku, aku gak mau nambah pikiran kamu dan buat kamu jadi khawatir sama aku. Cukup aku aja yang khawatir sama kamu.
Aku kasih kamu kalung dengan liontin bunga matahari, bunga kesukaan kita, pakai ya, kamu pasti juga tahu arti dari bunga itu. Maaf aku gak bisa lagi di samping kamu. Kamu harus bisa bahagia tanpa aku, aku yakin kamu pasti bisa.
Inget kan janji kita? Kalau kita akan tetap bertahan gimanapun keadaannya. Lihat diri kamu yang sekarang, seorang dokter psikologi, akhirnya Jingga bisa gapai impiannya ya. Aku yakin kamu bisa ngendaliin diri kamu, tanpa harus ada aku lagi. Kamu harus tetap bersinar tanpa Fajar, karna Fajar tetap menemani hari-hari mu walau tak bisa bersama.
Kalau kamu kangen aku, tanam aja bunga matahari sebanyak-banyaknya biar kebun kamu penuh bunga matahari. Karna kamu lihat Fajar dari sana. Jaga diri baik-baik ya, aku memang gak ada dihidup kamu, tapi aku selalu ada dihati kamu. Jangan nangis lagi, karna gak ada lagi yang hapus air mata kamu. Kamu kuat karna dirimu. Semangat!
Surat dari Fajar sudah basah dengan air mata dan cipratan darah. Rasanya hidupku berakhir hari ini. Tapi itu berarti aku mengkhianati janjiku bahwa harus tetap bertahan gimanapun caranya. Mungkin memang gak terima, tapi aku harus ikhlas dan tetap menjalani hidup tanpa ada lagi tawa ceria Fajar.
Untuk Fajar, makasih ya udah jadi sahabat terbaik aku yang selalu kasih semangat, semua nasihat, senyum hangat, dan tawa ceriamu akan selalu aku ingat sampai kapanpun. Semoga kamu tenang di sana.
PENULIS : Intan Ariestianti
EDITOR : TIM WEB BIAS