Karya SMADA: Tentang Sebuah Nyawa

Hembusan angin malam semakin buas menyapu tiap-tiap inci rambut hitamku. Suara jangkrik berbunyi nyaring menemani malam sepiku. Rasa penyesalan masih menyelimutiku dan membuatku melamun untuk kesekian kalinya. Sampai detik ini aku masih berdiri didekat jendela kamarku, memikirkan kejadian tadi pagi yang hampir membuatku tidak percaya akan terjadi.

Pukul 9 pagi. Bel sekolahku sudah berbunyi merdu, membuat semua siswa berhamburan keluar kelas untuk menuju kantin, kecuali aku yang memilih untuk tetap didalam kelas sambil mendengarkan beberapa musik dari ponselku. Ditengah-tengah lagu yang kuputar, aku melihat seorang laki laki berlari menuju kearahku sambil berteriak memanggil namaku. Kakinya yang panjang dan langkahnya yang lebar membuat ia cepat sampai dihadapanku. Laki-laki itu menatapku selama beberapa detik dan memberiku sapaan diiringi senyuman manisnya. Dia adalah sahabatku bernama Jordan.

Jordan adalah sahabatku sejak kecil. Rumahnya tidak berjauhan dengan rumahku. Jordan senang sekali bercerita kepadaku tentang semua hal yang dia alami dan hampir semua hal yang dia ceritakan selalu membuatku tertawa terbahak-bahak. Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol. Sering kali banyak para siswa yang mengira bahwa aku dan Jordan adalah sepasang kekasih,tentu saja tidak.

“Ren, ke taman belakang, yuk,”ajaknya sedikit samar, tapi cukup terdengar olehku.

“Boleh,” jawabku tanpa basa basi dan langsung melangkahkan kaki keluar kelas.

Pohon beringin tua sedikit meneduhkanku, membuatku betah berlama-lama ada di taman. Sejak sepuluh menit yang lalu Jordan masih belum mengajakku bicara, aku membiarkannya melamun karena kupikir dia butuh ketenangan.

“Hei!” tegurku, mungkin sedikit keras karena aku melihatnya sedikit terkejut.

“Apaan sih?” jawabnya tersipu malu. Aku menyukai wajahnya yang merah merona.

“Lo nggak berniat ngajakin gue ngobrol?”

Jordan diam, dia tidak menjawab perkataanku sama sekali.Lagi-lagi aku dibuat kesal olehnya. Dia sangat aneh hari ini,dia seperti orang asing, bahkan aku tidak pernah melihat sikap Jordan yang seperti ini. Hari ini Jordan terlihat sangat pendiam, biasanya dia akan bercerita panjang lebar tentang apapun itu yang bisa membuatnya takjub.

Sesaat kemudian, dia berkata bahwa dia ingin bercerita kepadaku, aku yang mendengarnya merasa sangat antusias. Tapi aku mulai menyadari wajahnya berubah menjadi serius, aku tidak mempedulikan hal itu. Saat dia mulai membuka suara, dia mengatakan padaku bahwa dia ingin sekali melihatku tersenyum untuknya. Aku heran dengan perkataan Jordan. Bukankah setiap hari aku sudah tersenyum? Apakah ia bermaksud untuk mengerjaiku? Karena aku merasa kesal padanya, akhirnya aku memutuskan untuk pergi kembali kembali ke kelas dan meninggalkannya sendirian di taman.

Pukul 12.30. Bel pulang sekolah berbunyi. Aku membereskan beberapa alat tulis dan buku yang masih berserakan diatas meja. Tiba-tiba, ponselku berbunyi membuatku menghentikan kegiatanku saat ini.

“Ra… Jordan meninggal,” kata pertama yang kudengar saat aku mengangkat telepon dari salah seorang teman sekelas Jordan. Saat itu juga bibirku terasa bisu bahkan telingaku tak sanggup untuk mendengar suara seseorang dibalik telepon itu. Beberapa detik, kemudian aku mengeluarkan cairan bening yang sudah menumpuk. Aku langsung bergegas pergi menuju rumah Jordan.

Dalam perjalanan menuju kerumahnya, tangisku tak henti-hentinya mengisi keheningan didalam mobil yang kunaiki saat ini. Mama terus menyuruhku tenang tapi semuanya sia-sia karena pikiranku saat ini telah kacau.

Sesampainya di rumah Jordan, aku melihat banyak sekali orang berlalu-lalang menggunakan pakaian putih. Salah seorang dari teman Jordan mengantarkanku untuk bertemu jenazah Jordan. Lagi-lagi aku menangis melihat Jordan terbujur lemas ditutupi kain putih. Aku hampir tidak percaya bahwa semua ini adalah nyata. Aku tidak menyangka bahwa tadi pagi adalah terakhir kalinya aku bertemu Jordan. Beberapa teman Jordan berusaha menenangkanku. Salah satu dari mereka berkata bahwa Jordan meninggal akibat penyakit tumor yang dideritannya.

Hal yang kupikirkan sampai saat ini adalah mengapa tadi pagi aku tidak menuruti perkataannya dan mengapa Jordan tidak pernah bercerita tentang penyakitnya. Selama ini, aku tidak pernah menduga bahwa Jordan memiliki penyakit seganas itu. Aku menyesal dan aku kecewa dengan diriku sendiri,mengapa aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik untuknya.

Penulis: Revia Damia Awitri (X-6)

Editor: Tim Web BIAS SMADA

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *